Behavioristik Therapy

ARNOLD LAZARUZ

1. Latar Belakang ejarah
Arnold Lazarus (lahir 1932) mendapat didikan di Johannesberg, Afrika Selatan. Dia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Mesikipun dibesarkan di Afrika Selatan, dia mengidentifikasi diri dengan Amerika Serikat. Pada saat usia masih sangat muda dia merasakan betapa rasialisme dan diskriminasi tidak bisa diterimanya. Pandangan ini menyebabkan seringkali dia terlibat perkelahian.
Pertama kali dia memasuki perguruan tinggi di Jurusan Bahasa Inggris, kemudian pindah ke Sosiologi dan Psikologi. Dia meraih master pada tahun 1957 di bidang psikologi eksperimental dan Ph. D. tahun 1960 di bidang psikologi klinis.
Behaviour Therapy and Beyond (1971) merupakan salah satu buku dari buku-buku awal Lazarus yang membicarakan terapi behavioral-kognitif, yang secara berturut-turut menjadi pendekatannya yang sistematis dan komprehensif dengan sebutan multidimensional therapy (terapi multi sarana).

2. Konsep dasar teori Behavioral
Konselor behavioral membatasi perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan lingkungan. Perilaku yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian utama dari para konselor sebagai kriteria pengukuran keberhasilan konseling. Manusia menurut pandangan ini bukan hasil dari dorongan tidak sadar seperti yang dikemukakan oleh Sigmund Freud.
Dalam konsep bahvioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, proses konseling merupakan suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu mengubah perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya.
Thoresen (Shertzer & Stone, 1980) sebagaimana dikutip oleh Surya (1988), memberi ciri-ciri konseling behavioral sebagai berikut:
1. Kebanyakan perilaku manusia dapat dipelajari dan karena itu dapat dirubah.
2. Perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individual dapat membantu dalam merubah perilaku-perilaku yang relevan; prosedur-prosedur konseling berusaha membawa perubahan-perubahan yang relevan dalam perilaku klien dengan merubah lingkungan.
3. Prinsip-prinsip belajar sosial, seperti misalnya “reinforcement” dan “social modeling”, dapat digunakan untuk mengembangkan prosedur-prosedur konseling.
4. Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan-perubahan dalam perilaku-perilaku khusus klien diluar wawancara konseling.
5. Prosedur-prosedur konseling tidak statik, tetap, atau ditentukan sebelumnya, tetapi dapat secara khusus didisain untuk membantu klien dalam memecahkan masalah khusus.

Jadi hakikatnya tugas konselor terhadap klien dalam teori behavioral ini adalah mengaplikasikan prinsip dari mempelajari manusia untuk memberi fasilitas pada penggantian perilaku maladaptif dengan perilaku yang lebih adaptif. Yaitu menyediakan sarana untuk mencapai sasaran klien, dengan membebaskan seseorang dari perilaku yang mengganggu kehidupan yang efektif sesuai dengan nilai demokrasi tentang hak individu untuk bebas mengejar sasaran yang dikehendaki sepanjang sasaran itu sesuai dengan kebaikan masyarakat secara umum. (Corey, 1995)
Dengan demikian jelas bahwa konseling behavioral menuntut adanya keterampilan dan kepekaan dalam tingkat tinggi untuk menjalin hubungan kerja dengan klien. Konseling behavioral cenderung bersifat aktif untuk mengarahkan serta berfungsi sebagai konsultan yang menyelesaikan masalah. Oleh karena mereka menggunakan model berusaha keras dalam mendorong perubahan perilaku dalam lingkungan alami klien, maka hal penting yang perlu mendapatkan perhatian adalah bahwa mereka secara pribadi bisa bersikap menunjang.

3. Ciri-ciri Konseling Behavioral
1. Kebanyakan perilaku manusia dapat dipelajari dan karena itu dapat dirubah
2. Perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individual dapat membantu dalam merubah perilaku-perilaku yang relevan; prosedur-prosedur konseling berusaha membawa perubahan-perubahan yang relevan dalam perilaku klien dengan merubah lingkunga
3. Prinsip-prinsip belajar sosial, seperti misalnya “reinforcement” dan “social modeling”, dapat digunakan untuk mengembangkan prosedur-prosedur konseling
4. Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan-perubahan dalam perilaku-perilaku khusus klien diluar wawancara konselin
5. Prosedur-prosedur konseling tidak statik, tetap, atau ditentukan sebelumnya, tetapi dapat secara khusus didisain untuk membantu klien dalam memecahkan masalah khusus (Thoresen dalam Shertzer & Stone, 1980,188)

4. Peranan Terapis
Peranan terapis dalam konseling ini adalah :
1. Mengaplikasikan prinsip dari mempelajari manusia untuk memberi fasilitas pada penggantian perilaku maladaptif dengan perilaku yang lebih adaptif.
2. Menyediakan sarana untuk mencapai sasaran klien, dengan membebaskan seseorang dari perilaku yang mengganggu kehidupan yang efektif sesuai dengan nilai demokrasi tentang hak individu untuk bebas mengejar sasaran yang dikehendaki sepanjang sasaran itu sesuai dengan kebaikan masyarakat secara umum

5. Pengalaman Klien daalm terapis
Salah satu sumbangan yang unik dari terapi tingkah laku adalah suatu sistem prosedur yang ditentukan dengan baik yang digunakan oleh terapis dalam hubungan dengan peran yang juga ditentukan dengan baik. Terapi tingkah laku juga memberikan kepada klien peran yang ditentukan dengan baik, dan menekankan pentingnya kesadaran dan partisipasi klien dalam proses terapeutik. Carkhuff dan Berenson (1967) menunjukkan bahwa sekalipun klien boleh jadi berada dalam peran sebagai “penerima teknik-teknik ynag pasif”, ia diberi keterangan yang cukup tentang teknik-teknik yang digunakan. Mereka menyatakan bahwa “sementara terapis memiliki tanggung ajwab utama, klien adalah fokus perhatian disertai sedikit perhatian pada nilai-nilai sosial, pengaruh orang tua, dan proses-proses tak dasar. Para terapis modifikasi tingkah laku pertama-tama harus memberikan keterangan rinci mengenai apa yang ada dan akan dilakukan pada setiap tahap proses treatment” (Carkhuff dan Berenson, 1967. hal 92).
Marquis (1974), yang menggunakan prinsip-prinsip pendekatan behavioral untuk menunjang pengubahan kepribadian yang efektif, memandang perlunya peran aktif klien dalam proses terapi. Melalui model terapi tingkah laku, Marquis menguraikan program tiga fase yang melibatkan partisipasi klien secara penuh dan aktif. Pertama, tingkah laku klien sekarang dianalisis dan pemahaman yang jelas menjangkau tingkah laku akhir dengna partisipasi aktif dari klien dalam setiap bagian dari proses pemasangan tujuant-tujuan. Kedua, cara-cara alternatif yang bisa diambil oleh klien dalam upaya mencapai tujuan-tujuan, dieksplorasi. Ketiga, suatu program treatment direncanakan, yang biasanya berlandaskan langkah-langkah kecil yang bertahap dari tingkah laku klien yang sekarang menuju tingkah laku yang diharapkan membantu klien dalam mencapai tujuannya
.
6. Hubungan antara Klien dan Konselor
Ada suatu kecenderungan yang menjadi bagian dari sejumlah kritik untuk menggolongkan hubungan antara terapis dan klien dalam terapis tingkah laku sebagai hubungan yang mekanis, manipulatif, dan sangat impersonal. Bagaimanapun, sebagian besar penulsi di bidang terapi tingkah laku, khususnya Wolpe (1985, 1969), menyatakan bahwa pembentukan hubungan pribadi yang baik adalah salah satu aspek yang esensial dalam proses terapeutik. Sebagaimana disinggung di muka, peran terapis yang esensial adalah peran sebagai agen pemberi perkuatan. Para terapis tingkah laku tidak dicetak untuk memainkan peran yang dingin dan impersonal yang mengerdilkan mereka menjadi mesin-mesin yang diprogram yang memaksakan teknik-teknik kepada para klien yang mirip robot.
Bagaimanapun, tampak bahwa pada umumnya terapis tingkah laku tidak memberikan peran utama kepada variabel-variabel hubungan terapis klien. Sekalipun demikian, sebagian besar dari mereka mengakui bahwa faktor-faktor seperti kehangatan, empati, keotentikan, sikap permisif, dan penerimaan adalah kondisi-kondisi yang diperlukan, tetapi tidak cukup, bagi kemunculan perubahan tingkah laku dalam proses terapeutik.
7. Teknik dan Prosedur Terapi
Salah satu sumbangan terapi tingkah laku adalah pengembangan prosedur-prosedur terapeutik yang spesifik yang memiliki kemungkinan untuk diperbaiki melalui metode ilmiah.
Dalam terapi tingkah laku, teknik-teknik spesifik yang beragam bisa digunakan secara sistematis dan hasil-hasilnya bisa dievaluasi. Teknik-teknik ini bisa digunakan jika saatnya tepat untuk menggunakannya, dan banyak diantaranya yang bisa dimasukkan ke dalam praktek psikoterapi yang berlandaskan model-model lain. Teknik-teknik spesifik yang akan diuraikan di bawah ini bisa diterapkan pada terapi dan konseling individual maupun kelompok
7. Metode Konseling Behavioral
Mengenai metode konseling behavioral, Kumboltz mengkategorikan menjadi empat pendekatan yaitu pendekatam : (1) Operant Learning, (2) Cognitive Learning, dan (3) Emotional learning.
a. Metode Operant Learning
Dari pendekatan operant learning yang paling penting adalah penguatan (reinforcement) yang dapat menghasilkan perilaku klien yang dikehendaki. Konselor diharapkan dapat memanfaatkan situasi diluar klien untuk memperkuat perilaku klien yang dikehendaki, sehingga dapat menentukan saat yang tepat untuk memberikan penguatan pada klien. Dalam menerapkan penguatan ini ada empat hal yang harus diperhatikan yaitu: (1) penguatan yang di terapkan hendaknya memiliki cukup kemungkinan untuk mendorong klien, (2) penguatan hendaknya dilaksanakan secara sistematis, (3) konselor harus mengetahui kapan dan bagaimana memberikan penguatan, dan (4) konselor harus dapat merancang perilaku yang memerlukan penguatan.(Surya, 1988)
b. Metode Cognitif Learning
Merupakan metode pengajaran secara verbal, kontrak antara konselor dengan klien, dan bermain peranan. Metode ini lebih menekankan pada aspek perubahan kognitif klien dalam upaya membentu klien dalam memecahkan masalahnya.
Tujuan utama dalam metode kognitif adalah : (1) membangkitkan pikiran-pikiran pasien, dialog internal atau bicara diri (self talk), dan interpretasi terhadap kehadian-kejadian yang dialami, (2) konselor bersama klien mengumpulkan bukti yang mendukung atau menyanggah interpretasi-interpretasi yang telah diambil, (3) menyusun dengan eksperimen (pekerjaan rumah) untuk menguji validitas interpretasi dan menjaring data tambahan untuk diskusi didalam proses perlakuan konseling.
Konseling kognitif khususnya diarahkan untuk memunculkan kesalahan-kesalahan atau kesesatan-kesesatan didalam berpikir. Contoh kesalahan adalah:
1. Berpikir Dikotomik. Yaitu berpikir yang serba ekstrem tanpa penilaian atau pendapat realativistik ditengah-tengah (hitam vs putih, semuanya vs tidak sama sekali).
2. Abstraksi selektif, pemisahan sebagian kecil dari sitausi keseluruhan dengan mengabaikan sisa bagian yang jauh lebih besar atau penting,.
3. Inferensi arbitrer (sembarangan, tidak semena-mena), yaitu menarik kesimpulan yang merupakan inferensi dari bukti-bukti yang tidak relevan.
4. Overgeneralisasi, yaitu menyimpulkan suatu kejadian negatif yang khusus, sebagai kejadian negatif secara keseluruhan.
6. Catastropishing, yaitu berpikir hal yang paling buruk dalam suatu situasi.(Retnowati, 2002)

8. Teknik Konseling Behavioral
Ada beberapa teknik konseling behavioral sebagaimana diungkapkan oleh Gerald Corey (1995) yang dapat diterapkan pada klien kecemasan antara lain:
a. Desensitisasi sistematik
Asumsi dasar yang mendasari teknik desensitisasi sistematika adalah bahwa responsi terhadap kecemasan itu dapat dipelajari atau dikondisikan, dan bisa dicegah dengan memberi subtitusi berupa suatu aktivitas yang sifatnya memusuhinya. Stimulus yang menghasilkan kecemasan berkali-kali dilakukan dengan latihan bersantai sampai hubungan antara stimulus-stimulus serta responsi terhadap kecemasan itu terhapus.
Moris (1986) membuat garis besar tentang desensitisasi sistematik menjadi tiga langkah:

1. Latihan bersantai
Selama bebrapa sesi permulaan klien diberi pelajaran bagaimana caranya bersantai. Sasarannya adalah agar oto-otot menjadi kendor dan mental menjadi santai dan mudah dipelajari. Setelah klien belajar bersantai, maka yang terpenting adalah klien mempraktekannya seriap hari agar bisa mendapatkan hasil yang maksimal.
2. Pengembangan hierarki kecemasan.
Stimulus yang menyulut kecemasan pada kawasan tertentu seperti penolakan, kecemburuan, kritikan, ketidaksetujuan, atau fobia yang lain, dianalisis. Konselor menyusun daftar urutan situasi yang menyulut timbulnya kecemasan dan penampikkan yang makin meningkat. Hierarki itu diatur dalam urutan-urutan mulai dari situasi yang terburuk yang bisa dibayangkan oleh klien sampai kesituasi yang menimbulkan kecemasan yang paling sedikit.
3. Disentisiasi sistematik yang tepat.
Proses desentisisasi dimulai dengan klien yang telah santai dengan sempurna dengan mata tertutup. Skenario netral dikemukakan, dan klien diminta untuk membayangkannya. Apabila klien tetap santai, diminta untuk membayangkan skenario yang paling sedikit manimbulkan kecemasan dalam hirarki kecemasan yang telah dikembangkan. Konselor bergerak maju dalam hierarki sampai klien memberi isyarat bahwa pada situasi itulah klien mengalami kecemasan dan pada saat itu skenario dihentikan. Kemudian pengendoran ketegangan dimulai lagi, dan klien melanjutkan naik kehierarki diatasnya. Penanganan berhenti manakala klien tetap dalam keadaan santai pada saat ia membayangkan skenario dimana dulu pernah merupakan keadaan yang paling banyak mengganggu dan menimbulkan kecemasan.
b. Metode Pemodelan
Istilah pemodelan, juga berarti belajar dengan mengamati menirukan, dan belajar sosialisasi. Permodelan adalah proses berbuat yang dilakukan oleh perilaku seseorang individu atau kelompok (model) sebagai stimulus terjadinya pikiran, sikap, dan perilaku yang serupa dipihak pengamat. Melalui proses belajar dengan mengamati klien sendiri bisa belajar untuk menunjukan perbuatan yang dikehendaki tanpa harus belajar lewat trial and eror.
c. Mengelolola diri sendiri
Watson dan Trap memberikan sebuah model yang didesain untuk perubahan yang diarahkan sendiri, yaitu ada empat tahap:
a. Penyaringan sasaran
b. Menerjemahkan sasaran menjadi perilaku yang diinginkan
c. Memantau perkembangan diri sendiri
d. Menyelesaikan rencana perubahan.
Selain keempat langkah itu ada metode penguatan diri sendiri yang sangat mendukung dalam keberhasilan proses konseling. Penggunaan penguatan untuk merubah perilaku adalah memilih pengganjaran pada diri sendiri yang tepat, yaitu memberi motivasi secara pribadi.(Rahmat, 2000)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TERAPI ADLER

Analisis Perubahan Tingkah Laku KONSELI SERING MENGHISAP IBU JARI

Reality Therapy William Glasser